Monday, January 30, 2012

PERINGATAN MAULID NABI SAW - BAH 2 (Hukum Syair pujian di masjid)


Rasulullah saw membolehkan Syair pujian di masjid
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawi lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata: “aku sudah membaca syair nasyid disini dan dihadapan orang yang lebih mulia dari engkau wahai Umar (iaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata: “bukankah kau dengar Rasulullah saw menjawab syairku dengan doa: Wahai Allah bantulah dia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata: “betul” (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini menunjukkan bahawa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yang menjelaskan larangan syair di masjid. Namun jelaslah bahawa yang dilarang adalah syair-syair yang membawa pada Ghaflah dan kedunian semata-mata. Pengecualian pada syair-syair yang memuji Allah dan Rasul-Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasulullah saw bahkan dipuji dan didoakan oleh Baginda saw sebagaimana riwayat di atas. Dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasulullah saw mendirikan mimbar khusus untuk Hassan bin tsabit di masjid agar dia boleh berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, Sunan At-tirmidzi hadits no.2846).

Aisyah ra meriwayatkan bahawa ketika ada beberapa sahabat yang mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata: “Jangan kalian caci Hassan, sungguh dia selalu membanggakan Rasulullah saw”(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).

Sumber: Habib Munzir; Meniti Kesempurnaan Iman

Saturday, January 28, 2012

PERINGATAN MAULID NABI SAW - BAH 1


Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu apabila mereka gembira atas kejayaan, kemenangan, kekayaan dan lain-lain. Bagi orang bukan Islam mereka merayakannya dengan pesta, minum arak sehingga mabuk, tarian, dan bergembira bersama wanita. Termasuk pelajar yang mencari aktiviti untuk menghiburkan hati seperti menonton wayang, bermain futsal dan pelbagai lagi aktiviti yang boleh direncanakan. Demikianlah adat bagi manusia diseluruh dunia sejak zaman-berzaman.

Allah merayakan hari kelahiran para Nabi-Nya
Allah swt meraikan dan merayakan kelahiran para Nabi-Nya dengan Firman Allah: “(Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan” (Maryam: 33).

Firman Allah: “Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan” (Maryam: 15)

Antara Kemuliaan dan Anugerah Dari Allah swt Ketika Kelahiran Baginda
1. Ketika Baginda Nabi saw dilahirkan, Rasulullah s.a.w lahir dalam keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177).

2. Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yang menjadi pembantunya Aminah ra bonda Nabi saw, ketika Bonda Nabi saw ketika saat melahirkan Baginda Nabi saw, dia(ibu Utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga dia takut jatuh ke atas kepalanya, lalu dia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bonda Nabi saw hingga menerangi seluruh bilik dan rumah (Fathul Bari Al-masyhur juz 6 hal 583).

3. Ketika Rasulullah saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam).

4. Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yang terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).

5. Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgahsana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan padamnya api di Kekaisaran Persia yang 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583).

Kenapa kejadian-kejadian ini ditaqdirkan oleh Allah swt? kejadian-kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika Baginda Nabi saw ditanya mengenai puasa di hari isnin, Baginda saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan” (Shahih Muslim hadits no.1162).

Dari hadits ini sebahagian ulama membolehkan merayakan maulid Nabi saw hanya dengan puasa. Tindakan Rasulullah saw jelas memberi pemahaman bahawa hari isnin itu berbeza dari hari-hari lainnya. Jawapan Baginda saw memberitahu secara khusus bahawa sebab berpuasa itu adalah kerana hari kelahiran Baginda saw, ini menunjukkan bagi Baginda saw sendiri sangat prihatin pada hari kelahiran Baginda saw dan ada kelebihan yang besar dari hari-hari lainnya.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdul muttalib ra : “Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah..” maka Rasul saw menjawab: “silakan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga”, maka Abbas ra memuji dengan syair yang panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al-Qur’an) kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yang gembira atas kelahiran Nabi saw
Diriwayatkan bahawa Abbas bin Abdul muttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya: “bagaimana keadaanmu?”, abu lahab menjawab: “di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap hari isnin karana aku membebaskan hambaku bernama Tsuwaibah disebabkan gembiranya aku atas kelahiran Rasulullah saw” (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syi’bul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431).

Walaupun seorang kafir yang memerangi Rasulullah ini, tentunya Allah swt berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, namun Allah swt mengurangi azab keatasnya pada setiap hari isnin hanya kerana Abu Lahab telah gembira dengan kelahiran Rasulullah saw lalu menyambutnya dengan membebaskan seorang hamba miliknya.

Walaupun mimpi tidak dapat dijadikan sebagai hujjah dalam hukum syariah namun mimpi dapat dijadikan hujjah dalam manaqib, sejarah dan iktibar. Walau bagaimanapun hal ini dijadikan hujjah sebagai suatu kebenaran kerana Imam-imam diatas yang meriwayatkan hal ini telah mengakui dan tidak mengingkarinya, ini menjadi hujjah bagi kita bahawa hal itu adalah benar.

Sumber : Meniti Kesempurnaan Iman, Habib Munzir al-Musawa

Friday, January 20, 2012

Perbahasan Berkaitan Sunnah Memakai Serban



Jawaban Al faqih Habib Munzir:

saya jawab secara singkat saja, ketahuilah bahwa sorban itu bukan adat orang arab saja, tapi sunnah Nabi saw, Rasulullah saw memakai surban.

1. dari Amr bin Umayyah ra dari ayahnya berkata : Kulihat Rasulullah saw mengusap surbannya dan kedua khuffnya (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash alalKhuffain).

2. dari Ibnul Mughirah ra, dari ayahnya, bahwa Rasulullah saw mengusap kedua khuffnya, dan depan wajahnya, dan atas surbannya (Shahih Muslim Bab Thaharah)

3. para sahabat sujud diatas Surban dan kopyahnya dan kedua tangan mereka disembunyikan dikain lengan bajunya (menyentuh bumi namun kedua telapak tangan mereka beralaskan bajunya krn bumi sangat panas untuk disentuh). saat cuaca sangat panas. (Shahih Bukhari Bab Shalat).

4. Rasulullah saw membasuh surbannya (tanpa membukanya saat wudhu) lalu mengusap kedua khuff nya (Shahih Muslim Bab Thaharah)
dan masih belasan hadits shahih meriwayatkan tentang surban ini, mengenai hadits hadits dhoif itu yg disebutkan, seandainya kesemua hadits itu tidak ada, cukuplah hadits Nabi saw : “Barangsiapa yg tak menyukai sunnahku maka ia bukan golongangku” (Shahih Bukhari).

silahkan bantah sunnah Nabi saw, dan itu tanda keluarnya mereka dari ummat Nabi saw.
Imam Syafii mengeluarkan fatwa bila seorang muslim menghina sunnah maka hukumnya kufur.

mengenai Albaniy sungguh ia tak mempunyai sanad, ia adalah orang biasa yg menukil nukil hadits dari buku buku yg ada, ia bukan muhaddits dan tak berhak menilai hadits, karena ia tak punya satu sanadpun, bagaimana disebut muhaddits?
orang yg tak punya sanad maka fatwanya mardud (tertolak), hujjahnya dhoif dan tak bisa dijadikan dalil untuk berfatwa.

bukti dari kedangkalan pemahamannya adalah pengingkarannya atas sunnah sayyidina Muhammad saw yg jelas jelas teriwayatkan dalam hadits hadits shahih Bukhari, sedangkan Shahih Bukhari adalah kitab hadits terkuat dari seluruh kitab hadits..
Sumber Habib Munzir Al Musawwa

Tambahan admin salafy tobat, Hadits Hadist tentang sorban:
1. Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Jabir dikemukakan: “Nabi saw memasuki kota Makkah pada waktu Fathu Makkah beliau mengenakan sorban (‘imamah) hitam.” (HR. At-Tarmidzi. Hadits ini diriwayatan oleh Muhammad bin Basyar, dari ‘Abdurrahman bin Mahdi, dari Hammad bin Salamah. Hadits ini pun diriwayatkan pula oleh Mahmud bin Ghailan, dari Waki’, dari Hammad bin Salamah, dari Abi Zubair, yang bersumber dari Jabir ra.)

2. ‘Amr bin Huraits berkata: “Aku melihat sorban hitam di atas kepala Rasulullah saw.” (HR. Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi ‘Umar, dari Sufyan, dari Musawir al-Waraq, dari Ja’far bin ‘Amr bin Huraits, yang bersumber dari bapaknya.)

3. Dalam sebuah riwayat yang bersumber dari Ibnu ‘Umar ra. dikemukakan : “Apabila Nabi memakai sorban, maka dilepaskannya ujung sorbannya di antara kedua bahunya.” Kemudian Nafi’ berkata: “Ibnu ‘Umar juga berbuat begitu.” ‘Ubaidullah berkata: “Kulihat al-Qasim bin Muhammad dan Salim, keduanya juga berbuat demikian.” (HR. Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Harun bin Ishaq al Hamdzani, dari Yahya bin Muhammad al-Madini, dari ‘Abdul ‘Aziz bin Muhammad, dari ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Nafi’, yang bersumber dari Ibnu ‘Umar.)

4. Ibnu ‘Abbas ra. mengemukakan: “Sesungguhnya Nabi Muhammad berpidato di hadapan ummat. Waktu itu beliau mengenakan sorban, dan sorbannya terkena minyak rambut.” (HR. At-Tarmidzi. Diriwayatkan oleh Yusuf bin ‘Isa, dari Waki’, dari Abu Sulaiman, yaitu ‘Abdurrahman bin Ghasail, dari Ikrimah, yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas)

Sumber : http://salafytobat.wordpress.com

Tuesday, January 17, 2012

Pandangan Mufti Mesir Mengenai Sambutan Maulid Nabi صلى الله عليه وآله وسلم



Fadhilatus Syeikh Dr. ‘Ali Jum’ah, Mufti Mesir, di dalam kitab beliau al-Bayan lima Yasyghal al-Azhaan, pada halaman 164 (soalan 42) menyatakan:

“ ...Mengadakan sambutan-sambutan peringatan Maulid Junjungan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم adalah daripada seutama-utama amalan dan sebesar-besar qurbah, kerana bahawasanya ia adalah luahan atau ungkapan atau ekspresi atas kegembiraan dan kecintaan kepada Baginda صلى الله عليه وآله وسلم. Cinta mahabbah kepada Junjungan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم adalah satu dasar daripada dasar-dasar keimanan. Dan telah shohih sabdaan Junjungan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم yang menyatakan: “Demi Tuhan yang diriku dalam kekuasaanNya, tidaklah beriman seseorang daripada kamu (yakni tidak sempurna iman) sehinggalah jadi aku paling dikasihinya berbanding ayah dan anaknya” Dan bahawasanya Junjungan Nabi صلى الله عليه وآله وسلم bersabda:- “Tidak beriman seseorang daripada kamu (yakni tidak sempurna iman) sehinggalah jadi aku yang paling dikasihinya berbanding anaknya, ayahnya dan manusia sekaliannya.”

Monday, January 16, 2012

Memahami Makna Bid'ah - 2



Penjelasan Makna Bid’ah Oleh Ulamak Kontemporari
Penerangan Oleh Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani

Realiti kehidupan kita menuntut adanya pembahagian antara bid’ah hasanah dan bid’ah dhalalah, “yang menyesatkan”. Semestinya umat Islam mengakui bahawa bid’ah itu ada yang baik dan ada yang sesat atau menyesatkan. Yang demikian itulah yang menjadi tuntutan akal yang cerdas.

Itulah yang ditahkiq atau diakui kebenarannya setelah dilakukan penelitian oleh para ‘ulama’ ushul (fiqh) dari kalangan ‘ulama’ salaf yang soleh, seperti al-‘Izz bin Abdussalam, Imam Nawawi, Imam Suyuthi, Imam Jalaluddin al-Mahalli, dan Ibnu Hajar – rahimahullah Ta`ala.

Hadith-hadith Nabi Muhammad s.a.w. – untuk menghindari kesalahfahaman – perlu ditafsiri sebahagiannya dengan sebahagian hadith yang lain, dan diperjelas kesempurnaan arahnya dengan hadith-hadith lainnya. Umat Islam perlu memahami sabda Nabi Muhammad s.a.w. itu dengan pemahaman yang cermat dan komprehensif, sempurna dan menyeluruh. Jangan sekali-kali memahaminya secara separuh-separuh atau sepotong-sepotong. Ia juga mesti difahami dengan ruh Islam dan sesuai dengan pendapat para ‘ulama` salaf yang soleh.

Di antara contoh hadith yang perlu difahami adalah sabda Nabi Muhammad s.a.w. berikut:
“Setiap bid’ah adalah dhalalah”
Untuk memahami hadith seperti itu, kita mesti mengatakan bahawa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadith tersebut adalah bid`ah sayyia’ah, iaitu bid’ah yang salah dan menyesatkan. Bid’ah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad s.a.w. tersebut adalah suatu peribadahan yang tidak didasarkan pada ajaran pokok agama Islam.
Pendekatan yang seperti itu pula yang harus digunakan untuk memahami pelbagai hadith, seperti hadith berikut:

“Tidak ada solat bagi tetangga masjid kecuali (yang dilakukan) di dalam masjid.”
Hadith di atas, meskipun mengandung “pembatasan” (hashr), iaitu menafikan solat dari tetangga masjid, tetapi kandungan umum dari pelbagai hadith lain mengenai solat mengisyaratkan bahawa hadith tersebut perlu difahami dengan suatu qayyid atau pengikat. Maka pengertiannya, tidak ada solat (fardhu) yang sempurna bagi tetangga masjid, kecuali di masjid.

Begitu pula berkenaan dengan hadith Rasulullah s.a.w. di bawah ini:
“Tidak ada solat dengan (tersedianya) makanan.”
Maksudnya, tidak ada solat yang sempurna jika makanan telah tersedia. Seperti itu pula pendekatan yang harus kita gunakan untuk memahami hadith berikut:

“Tidak beriman salah seorang di antaramu kecuali ia mencintai sesuatu untuk saudaranya seperti ia mencintainya untuk (kepentingan) dirinya.”
Begitu juga hadith berikut:

“Demi Allah, tidak beriman; demi Allah tidak beriman; demi Allah tidak beriman.” Ada yang bertanya: “Siapakah itu wahai Rasulullah?” Beliau bersabda: “Orang yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya.”

“Tidak masuk syurga pengadu domba.”Tidak masuk syurga pemutus tali persaudaraan. Tidak masuk syurga orang yang derhaka lepada kedua orang tuanya.”
Menurut para ‘ulama’, yang dimaksud tidak masuk syurga itu adalah tidak masuk secara baik dan utama, atau tidak masuk syurga jika menganggap halal atau boleh melakukan perbuatan munkar seperti itu. Jadi para ‘ulama’ – atau pakar – itu tidak memahami hadith menurut zahirnya; mereka memahaminya melalui takwil.

Maka harus seperti itulah memahami hadith tentang bid’ah. Keumuman kandungan pelbagai hadith serta keadaan dan sikap para sahabat mengesankan bahawa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadith tersebut hanyalah bid’ah sayyia’ah (bid’ah yang jelas-jelas tidak ada landasan pokok dari ajaran Islam); tidak semua bid’ah.
Cubalah kita perhatikan hadith-hadith berikut ini:

“Siapa yang menetapkan suatu kebiasaan (Sunnah) yang baik, maka ia berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat…”
“Hendaklah kamu sekalian (mengikuti) Sunnahku dan Sunnah para khalifah yang cerdik pandai dan mendapat petunjuk…”

Perhatikan juga perkataan Umar bin Khattab r.a. mengenai solat tarawih “Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” Hanya Allah Yang Lebih Mengetahui yang sebenarnya.



“Dia bukanlah seorang Imâm dalam `Ilmu apabila mengikut pandangan yang ganjil/terpencil (shâdhdh) (`Abdul-Rahmân ibn Mahdî).

Dan Allah jua Yang Maha Mengetahui

Komentar penterjemah tulisan Sheikh Gibril Fouâd Haddâd
• Jelas sekali berdasarkan dalil-dalil yang dikemukakan di atas membuktikan bahawa para ulama’ di kalangan empat Mazhab Ahlul Sunnah wal Jamaah, secara majoritinya, (manakala ijma’ di kalangan ulama Mazhab Shafi’e) telah menerima pembahagian bahawa di sana ada dua bentuk bid‘ah, iaitu yang ‘baik’(hasanah) dan yang ‘buruk’ (sayyi’ah/dalalah). Ini sekaligus menolak pandangan ganjil dan keseorangan (shadhdh) Imam al-Shatibi dalam I’tisomnya, yang menentang pembahagian bid’ah
sedemikian, dan juga pandangan mereka yang bersamanya yang mendakwa semua ‘perkara baharu’ itu bid‘ah sesat (bid‘ah d{alalah/sayyi‘ah) belaka.

• Adapun mereka yang mengemukakan hujah-hujah para Imam Mazhab dan imam-imam besar lain yang kononnya menolak dan menentang amalan yang dikatakan “bid‘ah”, penolakan para Imam itu sebenarnya adalah terhadap bid‘ah dalalah, iaitu bid‘ah yang bertentangan dengan Shari‘at, kerana para imam-imam ini dalam masa yang sama di tempat yang lain jelas sekali mengakui dan menerima wujudnya dua kategori bid‘ah: baik dan buruk.

• Dakwaan bahawa kalimah “bid‘ah” yang diungkapkan oleh Saidina Umar r.a. hanya bermaksud ‘bid‘ah dari segi bahasa’, dan justeru itu sekalian para ulama telah tersilap faham merupakan suatu tanggapan memperlekehkan keilmuan dan kepakaran bahasa para ulama’ besar seperti Imam Shafi’e, Imam al-Ghazali, Imam al-Izz dan lain-lain, seolah-olah mereka ini jahil tidak tahu membezakan antara ‘bid ‘ah dari segi bahasa’ dan ‘bid‘ah dari segi syarak’. Imam Mazhab, Mujtahid Mutlaq, Hujjatul Islam, Sheikhul Islam dan Sultan al-‘Ulama’ adalah antara gelaran-gelaran yang diberikan
terhadap para ulama ini sudah cukup menggambarkan kehebatan keilmuan dan kewibawaan mereka.

Perlu kita akui bahawa para ulama’ silam teramat mengerti dan arif apa yang dimaksudkan oleh Saidina Umar r.a. dengan ungkapan kalimah “bid‘ah” itu . Mereka juga tahu dan amat mengerti bahawa Rasulullah s.a.w. sendiri pernah melakukan Solat Terawih secara berjemaah untuk dua malam pertama di bulan Ramadhan sepertimana Hadith Aisyah r.a. yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Namun mereka tetap menggunakan hujah perlakuan Saidina Umar itu untuk mengatakan bahawa di sana ada bid‘ah hasanah dan bid‘ah d}alalah. Adalah sesuatu yang ganjil tiba-tiba ada ‘ulama mutaakhir termasuk ulama’ kurun ke-20 ini mula mempertikaikan dan menolak hujah para ulama besar seperti Imam Shafi’e, Imam Ghazali dan lain-lain yang telah menggunakan kata-kata Saidina Umar itu tadi sebagai dalil mereka.

• Setiap amalan dalam masyarakat kita perlu dinilai dan diteliti dengan cermat berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Ada ketikanya amalan mereka itu merupakan bid‘ah hasanah, ada juga ketikanya bid‘ah dalalah dan khurafat yang mesti ditentang, dan ada juga ianya merupakan persoalan khilafiyyah (perbezaan pendapat di kalangan‘ulama’). Adalah terlalu cetek pemikiran melabelkan semua perlakuan yang tiada nas}s} khusus mengenainya, di dalam satu bakul yang sama sebagai bid ‘ah dalalah atau sayyiah.
*Dan Allah jua Yang Maha Mengetahui*

Sumber:
1. “Mafahim Yajib An Tushahhah” karya Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani
2. Definisi Bid‘ah Mengikut Ahlul Sunnah wal Jamaah, Sheikh Gibril Fouâd Haddâd
3. Jomfaham.blogspot.com

Memahami Makna Bid'ah - 1


Daripada Ummu al-Mukminin Ummu Abdullah 'Aisyah r.a. رضي الله عنها beliau berkata: Rasulullah SAW telah bersabda: Barangsiapa yang mengada-ada sesuatu perkara dalam urusan kita ini, yang bukan daripadanya, maka ia tertolak.
Hadis riwayat al-lmam al-Bukhari dan al-lmam Muslim.

Dalam riwayat Muslim, ada hadis lain berbunyi: Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak ada asal usul dengan agama kita, maka ia tertolak
(Al-Imam al-Bukhari ( nombor 2550(. Dan (Al-Imam Muslim )nombor 1718).

Perbincangan:
Hadis ini turut dibahaskan oleh al-imam nawawi r.h.m. dalam hadis 40 beliau. Hadis ini menunjukkan betapa tegasnya larangan mengada-adakan dalam urusan agama yang bukan termasuk dalam perkara agama.

Sesuatu yang dibolehkan melakukannya dalam ibadat tertentu, tidak semestinya boleh dilakukan dalam ibadah lain pula. Contoh menongkok tambah dalam ibadat yang telah disyariatkan secara khusus adalah seperti menambah atau mengurangkan rakaat dalam solat fardhu. Bid’ah juga boleh berlaku dalam Muamalat seperti melakukan ‘Aqad yang dilarang oleh Syara’ :

Pengajaran:
lslam adalah agama yang sudah sempurna dasar dan prinsipnya. la tidak perlu ditokok tambah lagi. Sebarang tokok tambah, ubah suai atau pengurangan yang bertentangan dengan usul agama adalah bid'ah yang diharamkan, yang ditolak dan sesat. Yang dimaksudkan dengan bid'ah ialah segala perkara yang tidak berdasarkan usul agama, seumpama mereka cipta cara beribadat tertentu, seperti sembahyang cara baru, upacara keagamaan baru dan sebagainya. Setiap muslim mestilah menjauhkan diri daripada terjebak dalam perbuatan bid'ah sesat, kerana ia boleh membawa kepada kehancuran diri, agama dan setengahnya pula membawa kepada kufur. Cukuplah baginya berpegang teguh dengan apa yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW, demi menjamin kesejahteraan agamanya.

Definisi Bid‘ah Mengikut Imam Shafi’e:
Sumbangan besar Imâm al-Shâfi`î (ra) dalam ilmu Usul al-Fiqh ialah pembahagian beliau terhadap makna ‘perkara baharu’ (al-bid‘ah) dan ‘perkara baharu yang diadakan’ (al-muhdathât) iaitu samada ‘baik’ atau ‘buruk bergantung kepada samada perkara itu selari dengan Shari‘at. Ini diriwayatkan secara Sahih dari dua muridnya yang terkenal pada zaman akhir kehidupan beliau iaitu, pakar hadith Mesir, Harmala ibn Yahyâ al-Tujaybî dan al-Rabî` ibn Sulaymân al-Murâdî:

Harmala menyebut, “Aku mendengar Imam al-Shâfi’e(ra) berkata, “Bid‘ah itu dua jenis (al-bid‘atu bid`atân)” “Bid‘ah yang dipuji (bid‘ah mahmûdah) dan bid‘ah yang dikeji (bid‘ah mazmûmah). Apa yang selari dengan Sunnah itu dipuji (mahmûdah) dan apa yang bertentangan
itu dikeji (mazmûmah).” Beliau menggunakan dalil dari kenyataan Saidina ‘Umar ibn al-Khattâb (ra) kepada jemaah yang mengerjakan Sembahyang Terawih di bulan Ramadân dengan katanya:
“Alangkah cantiknya bid‘ah ini!”

Al-Rabî` juga meriwayatkan kenyataan yang sama bahawa Imam Al-Shâfi`î berkata kepada kami, ‘Perkara baharu yang diada-adakan itu dua jenis (al-muhdathâtu min al-umûri darbân):

Pertama, perkara baharu yang bercanggah dengan al-Qur’ān atau Sunnah atau athar Sahabat atau ijmâ’ para ulamā’, maka bid‘ah itu adalah sesat (fahâdhihi albid‘ atu dalâlah). Kedua, ialah perkara baharu yang diadakan dari segala kebaikan (mâ uhditha min al-khayr) yang tidak bertentangan dengan mana-mana pun di atas, dan ini bukan bid‘ah yang dikeji (wahâdhihi muhdathatun ghayru madhmûmah).`Umar (ra) berkata terhadap sembahyang Terawih berjemaah di bulan Ramadhan, “Alangkah cantiknya bid‘ah ini!” bermaksud bahawa ‘perkara baharu’ yang diadaadakan yang belum ada sebelum ini, tetapi ianya tidak bercanggah dengan perkara di atas (Al-Qur’ān, Sunnah, athār Sahabat dan Ijmā’).'”

Sehubungan dengan itu Imâm al-Haytamî, Qâdî Abû Bakr Ibn al-`Arabî, dan Imâm
al-Lacknawî seterusnya menyambung, “Bid‘ah dari segi Shari‘atnya ialah apa jua perkara baharu yang diadakan yang bertentangan dengan hukum yang diturunkan Allah, samada berdasarkan dalil-dalil yang nyata atau pun dalil-dalil umum” “Hanya Bid‘ah yang menyalahi Sunnah sahaja yang dikeji” “Bid‘ah ialah semua perkara yang tidak wujud dalam tiga kurun pertama Islam dan di mana ianya tidak mempunyai asas bersumberkan empat sumber hukum Islam”

Kesimpulannya, ianya tidak memadai bagi sesuatu perkara itu dikira ‘bid‘ah’ Sesat hanya semata-mata kerana ianya ‘perkara baharu’, Al-Bayhaqî mengulas kenyataan al-Rabî, “Begitu juga dalam hal perdebatan aqidah (kalâm), walaupun kaedah kalām merupakan ‘perkara baharu’
namun ianya dipuji (mahmudah) kerana ianya bertujuan untuk mendedahkan
kepalsuan pereka bid‘ah itu.

Rasulullah dan begitu juga para Sahabat ditanya soalan berhubung dengan Qada’ dan Qadar. Namun pada masa itu, para Sahabat sudah berpuas hati dengan jawapan yang diberikan oleh Rasulullah . Namun sebaliknya di zaman kita ini pereka bid‘ah tidak lagi berpuas hati dengan jawapan yang yang diberikan oleh Rasulullah, dan mereka tidak lagi menerimanya. Oleh itu bagi menangkis serangan yang mereka sebarkan kepada umum, perlu bagi kita berhujah menggunakan kaedah pembuktian yang diterima pakai oleh mereka sendiri.

Dan sesungguhnya kejayaan itu datangnya dari Allâh jua. Ini merupakan pembelaan Imâm al-Bayhaqî secara terang-terang terhadap keperluan kalâm dan sifatnya yang selari dengan tuntutan Sunnah demi mempertahankan Islam dari pereka bid‘ah. Pendirian yang hampir sama juga boleh dilihat di
kalangan para Imam besar seperti Ibn `Asâkir, Ibn al-Salâh, al-Nawawî, Ibn al-Subkî,
Ibn `Abidîn dan lain-lain.



Pembahagian Bid‘ah di kalangan ‘ulama’ Ahlul Sunnah wal Jamaah dan selainnya
(a) Definisi Imam al-Ghazâlî

Hujjatul Islâm Imam al-Ghazâlî ketika mengulas perbahasan berhubung dengan penambahan ‘titik’ pada huruf ayat-ayat al-Qur’ān dengan katanya, Hakikat bahawa ianya perkara baharu yang diadakan (muhdath) tidak menghalang ini semua. Berapa banyak perkara baharu yang diadakan tetapi ianya baik, seperti mana sembahyang Terawih secara berjemaah. Ianya adalah antara bid‘ah Saidina`Umar (ra) tetapi ianya adalah bidôah yang baik (bid‘ah hasana). Bid‘ah yang keji ialah yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah atau yang boleh membawa kepada perubahan Sunnah itu.

(b) Definisi Qâdî Abû Bakr ibn al-‘Arabî al-Mâlikî
Qâdî Abû Bakr Ibn al-`Arabî ketika mengulas berhubung dengan bid‘ah berkata: Ketahuilah, Moga Allah menganugerahkan kamu ilmu, bahawa bid‘ah itu ada dua jenis (al-muhdathâtu darbân), Perkara baharu yang diadakan yang tiada asas [agama] melainkan mengikut hawa nafsu sesuka hati. Ini ada jenis yang salah, dan Perkara baharu yang diadakan selari dengan apa yang sudah disepakati. Seperti Sunnah para Khulafâ’ dan para Imam-imam besar. Perkara baharu yang
diadakan dan bid‘ah bukanlah keji kerana ianya ‘baharu’ (muhdath) [baharu yang tiada sebelum ini] atau semata-mata dipanggil ‘bid‘ah’, dan tidak juga kerana maknanya! Allâh Yang Maha Agung berfirman:
“Tidak datang kepada mereka peringatan yang baharu (muhdath) dari Tuhan
mereka” (21:2)

Dan Saidina `Umar (ra) berkata: “Alangkah cantiknya bid‘ah ini!” Sebaliknya, bid‘ah yang bertentangan dengan Sunnah itu yang dikeji atau perkara baharu yang diadakan yang membawa kepada kesesatan itu yang dicela.

(c) Definisi Ibn Hazm al-Zāhirī
Ibn Hazm al-Zâhirî berkata:
Bid‘ah dalam al-Din ialah apa jua yang datang kepada kita yang tiada disebutkan di dalam al-Qur'ân dan Hadith Rasulullâh , melainkan seseorang itu diberi ganjaran pada sebahagiannya, dan mereka yang melakukannya dimaafkan jika mereka berniat baik. Di antaranya adalah yang diberi ganjaran dan dikira baik (hasan), apa yang pada asalnya diharuskan (“mâ kâna asluhu al-ibâha”) sepertimana yang diriwayatkan oleh

Saidina`Umar (ra): “Alangkah baiknya bid‘ah ini!” Ia jelas merujuk kepada semua amalan kebaikan yang dinyatakan oleh nass (al- Qur’ān dan Hadith) secara umum akan galakan melakukannya, walaupun amalan berkenaan itu tidak disebutkan dalam nass secara khusus. Di antaranya juga ada yang dikeji dan tidak dibolehkan apabila ada dalil-dalil yang melarangnya.

Definisi Ibn al-Jawzī
Ibn al-Jawzî menyatakan perkara yang sama dalam kitabnya Talbîs Iblîs: “Ada sesetengah perkara baharu (muhdathât) diamalkan yang tidak berlawanan dengan Shari‘at atau menyalahinya, mereka [para Salaf] melihat ianya tidak mengapa untuk diamalkan, seperti tindakan Saidina Umar mengumpulkan orang bagi mendirikan sembahyang Terawih di bulan Ramad.ân, kemudian itu beliau berkata: `Alangkah baiknya Bid ‘ah ini!'

(e) Definisi Ibn al-Athîr al-Jazarî
Pakar perkamusan Ibn al-Athîr menyebut di dalam kitabnya, al-Nihâyah fî Gharîb al-H{âdîth wal-Athar menyebut:

Bid‘ah itu ada dua jenis: bid‘ah yang berpetunjuk (bid‘atu hudâ) dan bid‘ah yang sesat (bid`atu dalâlah). Apa jua yang menyalahi perintah Allâh dan RasulNya : itu termasuk dalam perkara yang dikutuk dan dipersalahkan. Dan apa jua yang masuk dalam keumuman Allâh atau RasulNya perintahkan atau galakkan: maka itu termasuk dalam hal-ehwal yang dipuji. Apa jua yang tiada amalan sebelum ini seperti terlampau pemurah atau berbuat baik – seumpama itu termasuk dalam perlakuan dipuji.

Tidak dibenarkan beranggapan perkara seumpama itu sebagai menyalahi Shari‘at kerana Rasulullah telah menyebutkan bahawa amalan sedemikian itu diberi ganjaran: “Sesiapa yang memulakan sesuatu amalan kebaikan dalam Islâm (man sanna fîl-islâmi sunnatan hasana) memperolehi ia ganjarannya dan ganjaran sekalian orang yang melakukannya”. Begitu juga sebaliknya Baginda bersabda sesiapa yang memulakan amalan jahat dalam Islâm (waman sanna fîl-islâmi sunnatan sayyi'atan) memikul dosanya dan dosa sekalian mereka yang melakukannya.”

(f) Klasifikasi Imam al-Izz Ibn `Abdul Salâm
Shaykhul Islâm, Sultân al-`Ulâmâ' Imâm al-`Izz Ibn `Abd al-Salâm menyebut bahawa Bid‘ah itu ada lima jenis, sama sepertimana yang diputuskan para fuqaha dalam amalan perbuatan seeorang, iaitu: Wâjib, Harâm, Sunat (mandûb), Makrûh, dan Harus (mubâh).


(g) Sokongan Imam Nawawî terhadap Klasifikasi Imam al-Izz
Sheikhul-Islâm, Imâm al-Nawawî menyebut: Bid‘ah mengikut Shari‘at ialah mereka sesuatu yang tidak pernah wujud di zaman Rasulullah dan ianya dibahagikan kepada “baik” dan buruk” (wahya munqasimatun ilâ h}asanah wa qabîh}ah).

(h) Sokongan Ibn Hajar terhadap Imam al-Izz Hâfiz Ibn Hajar berkata:
Akar kata perkataan ‘bid‘ah’ itu ialah sesuatu yang direka tanpa ada duluannya sebelum ini. Ianya digunakan dalam Shari‘at sebagai lawan kepada Sunnah, dan oleh itu dikeji. Jika diteliti, sekiranya ianya termasuk dalam apa yang digalakkan oleh Shari‘at, maka ia termasuk dalam bid‘ah baik (bid‘ah hasanah), dan jika ia termasuk dalam perkara yang dikeji maka ianya adalah bid‘ah buruk (mustaqbah}ah).

Dengan mengubah istilah Imam al-Shâfi`î dan Imam al-Izz ibn `Abdul-Salâm dengan masing-masing membawa maksud “bid‘ah dari segi bahasa” (bid‘ah lughawiyya) dan “bid ‘ah dari segi syarak” (bid‘ah shar`iyyah). Walaupun ini tidak tepat, mereka cuba memadankan apa yang Imam al-Shâfi`î' sebutkan sebagai “dibenarkan” dan “dikeji.


Sumber :
1. “Mafahim Yajib An Tushahhah” karya Dr. Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki al-Hasani
2. Definisi Bid‘ah Mengikut Ahlul Sunnah wal Jamaah, Sheikh Gibril Fouâd Haddâd
3. Jomfaham.blogspot.com