Friday, July 29, 2011

MUHASABAH DIRI



Dari hujung rambut sehinggalah kehujung kuku, dari setiap organ-organ badan kita dan setiap anggota badan yang kita miliki yang mana satukah hasil dari ciptaan kita?

Semua yang kita miliki saat ini adalah dari kehendak Allah ta’ala. Bagaimana agaknya nanti kiranya segala nikmat yang diberikan ini ditarik balik oleh Allah ta’ala, cukup sahaja dengan hilangnya nikmat kaki yang tidak lagi mampu berjalan dan nikmat jantung yang tidak lagi berupaya untuk berdenyut. Selepas kita meninggalkan dunia ini, segala nikmat yang dimiliki sudah tidak dapat kita gunakan lagi, sudah tidak dapat kita manfaatkan untuk redha Allah.

Kita patut merenung dari makhluk ciptaan Allah yang lain yang berada disekeliling kita, contoh paling mudah adalah pokok dan tumbuhan. Ia tiada nikmat sepertimana kita miliki, tetapi pokok dan tumbuhan sangat taat kepada Allah.

Bayangkan bagaimana keadaan kita apabila mati nanti, berapa banyakkah sujud kita kepada Allah? Berapa banyak bekas di bumi Allah ini yang telah kita letakkan dahi kita untuk sujud?

Bagaimana agaknya keadaan kita apabila dihantar menuju ke kubur nanti? Di dalam kubur kelak siapa yang akan membantu kita? Tiada harapan kita hendak harapkan kecuali dari rahmat dan pertolongan dari Allah ta’ala.

Sedarlah wahai hamba Allah, setiap zarah dari perbuatan kita sama ada baik atau jahat akan di hisab oleh Allah dengan seadilnya. Oleh yang demikian, di mana fikiran kita waktu kita beribadah kepada Allah? Di mana hati dan ingatan kita?

Sesungguhnya setiap manusia tidak akan selamat di akhirat kelak walaupun dengan amal ibadat yang banyak kecuali dengan rahmat Allah. Satukan hati-hati kita, jangan kita berpecah belah, semoga kita semua mendapat hidayah dan taufik dari Allah ta’ala.

SEJARAH RINGKAS BURDAH AL-BUSIRI




Qasidah Burdah adalah salah satu karya paling popular dalam khazanah sastera Islam. Isinya, sajak-sajak pujian kepada Nabi Muhammad SAW, pesan moral, nilai-nilai spiritual, dan semangat perjuangan, hingga kini masih sering dibacakan di sebagian pesantren salaf dan pada peringatan Maulid Nabi. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa seperti Persia, Turki, Urdu, Punjabi, Swahili, Pastum, Melayu, Sindi, Inggris, Prancis, Jerman dan Italia.

Pengarang Qasidah Burdah ialah Al-Bushiri (610-695H/ 1213-1296 M). Nama lengkapnya, Syarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Zaid al-Bushiri. Dia keturunan Berber yang lahir di Dallas, Maroko dan dibesarkan di Bushir, Mesir, Dia seorang murid Sufi besar, Imam as-Syadzili dan penerusnya yang bernama Abdul Abbas al-Mursi – anggota Tarekat Syadziliyah. Di bidang ilmu fiqih, Al Bushiri menganut mazhab Syafi’i, yang merupakan mazhab fiqih majoriti di Mesir.

Di masa kecilnya, ia dididik oleh ayahnya sendiri dalam mempelajari Al Quran di samping berbagai ilmu pengetahuan lainnya. Kemudian ia belajar kepada ulama-ulama di zamannya. Untuk memperdalam ilmu agama dan kesusateraan Arab ia pindah ke Kaherah. Di sana ia menjadi seorang sastrawan dan penyair yang ulung. Kemahirannya di bidang sastra syair ini melebihi para penyair pada zamannya. Karya-karya kaligrafinya juga terkenal indah.

Sebagian ahli sejarah menyatakan, bahwa ia mulanya bekerja sebagai penyalin naskah-naskah. Louis Ma’luf juga menyatakan demikian di dalam Kamus Munjibnya.

Sajak-sajak pujian untuk Nabi dalam kesusasteraan Arab dimasukkan ke dalam genre al-mada’ih an-nabawiyah, sedangkan dalam kesusasteraan-kesusasteraan Persia dan Urdu dikenal sebagai kesusasteraan na’tiyah (kata jamak dari na’t, yang berarti pujian). Sastrawan Mesir terkenal, Zaki Mubarok, telah menulis buku dengan huraian yang panjang lebar mengenai al-mada’ih an-nabawiyah. Menurutnya, syair semacam itu dikembangkan oleh para sufi sebagai cara untuk mengungkapkan perasaan religius yang Islami.

Qasidah Burdah terdiri atas 160 bait (sajak), ditulis dengan gaya bahasa (uslub) yang menarik, lembut dan elegan, berisi panduan ringkas mengenai kehidupan Nabi Muhammad SAW, cinta kasih, pengendalian hawa nafsu, doa, pujian terhadap Al Quran, Isra’ Mi’raj, jihad dan tawasul.

Dengan memaparkan kehidupan Nabi secara puitis, AI-Bushiri bukan saja menanamkan kecintaan umat Islam kepada- Nabinya, tetapi juga mengajarkan sastra, sejarah Islam, dan nilai-nilai moral kepada kaum Muslimin. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika kasidah Burdah senantiasa dibacakan di pesantren-pesantren salaf, dan bahkan diajarkan pada tiap hari Kamis dan Jumat di Universitas AI-Azhar, Kaherah.

Al-Bushiri hidup pada suatu masa transisi perpindahan kekuasaan dinasti Ayyubiyah ke tangan dinasri Mamalik Bahriyah. Pergolakan politik terus berlangsung, akhlak masyarakat merosot, para pejabat pemerintahan mengejar kedudukan dan kemewahan. Maka munculnya Qasidah Burdah itu merupakan reaksi terhadap situasi politik, sosial, dan kultural pada masa itu, agar mereka senantiasa mencontoh kehidupan Nabi yang berfungsi sebagai uswatun hasanah (suri tauladan yang baik), mengendalikan hawa nafsu, kembali kepada ajaran agama yang murni, Al Quran dan Hadis.

Sejarah Ringkas Qasidah Al-Burdah
Al-Burdah menurut etimologi banyak mengandung arti, antara lain :
1. Baju (jubah) kebesaran khalifah yang menjadi salah satu atribut khalifah. Dengan atribut burdah ini, seorang khalifah biasa dibezakan dengan pegawai negara lainnya, teman-teman dan rakyatnya.
2. Nama dari qasidah yang dipersembahkan kepada Rasulullah SAW yang digubah oleh Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma.

Pada mulanya, burdah (dalam pengertian jubah) ini adalah milik Nabi Muhammad SAW yang diberikan kepada Ka’ab bin Zuhair bin Abi Salma, seorang penyair terkenal Mukhadramin (penyair dua zaman: Jahiliyah dan Islam). Burdah yang telah menjadi milik keluarga Ka’ab tersebut akhirnya dibeli oleh Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan seharga dua puluh ribu dirham, dan kemudian dibeli lagi. oleh Khalifah Abu Ja’far al-Manshur dari dinasti Abbasiyah dengan harga empat puluh ribu dirham oleh khalifah, burdah itu hanya dipakai pada setiap shalat fardu dan diteruskan secara turun temurun.

Riwayat pemberian burdah oleh Rasulullah SAW kepada Ka’ab bin Zuhair bermula dari Ka’ab yang menggubah syair yang senantiasa menjelek-jelekkan Nabi dan para sahabat. Karena merasa terancam jiwanya, ia lari bersembunyi untuk menghindari luapan amarah para sahabat. Ketika terjadi penaklukan Kota Makkah, saudara Ka’ab yang bernama Bujair bin Zuhair mengirim surat kcpadanya, yang isinya antara lain anjuran agar Ka’ab pulang dan menghadap Rasulullah, karena Rasulullah tidak akan membunuh orang yang kembali (bertobat). Setelah memahami isi surat itu, ia berniat pulang kembali ke rumahnya dan bertobat.

Kemudian Ka’ab berangkat menuju Madinah. Melalui ‘tangan’ Abu Bakar Siddiq, di sana ia menyerahkan diri kepada Rasulullah SAW. Ka’ab memperoleh sambutan penghormatan dari Rasulullah. Begitu besarnya rasa hormat yang diberikan kepada Ka’ab, sampai-sampai Rasulullah melepaskan burdahnya dan memberikannya kepada Ka’ab.

Ka’ab kemudian menggubah qsidah yang terkenal dengan sebutan Banat Su’ad (Putri-putri Su’ad), terdiri atas 59 bait (puisi). Qasidah ini disebut pula dengan Qasidah Burdah. la ditulis dengan indahnya oleh kaligrafer Hasyim Muhammad al-Baghdadi di dalam kitab kaligrafi-nya, Qawaid al-Khat al-Arabi.

Di samping itu, ada sebab-sebab khusus dikarangnya Qasidah Burdah itu, yaitu ketika al-Bushiri menderita sakit lumpuh, sehingga ia tidak dapat bangun dari tempat tidurnya, maka dibuatnya syair-syair yang berisi pujian kepada Nabi, dengan maksud memohon syafa’afnya. Di dalam tidurnya, ia bermimpi berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW. di mana Nabi mengusap wajah al-Bushiri, kemudian Nabi melepaskan jubahnya dan mengenakannya ke tubuh al-Bushiri, dan saat ia bangun dari mimpinya, seketika itu juga ia sembuh dari penyakitnya.

Pemikiran-Pemikiran Bushiri dalam Al-Burdah dimulai dengan nasib, yaitu ungkapan rasa pilu atas dukacita yang dialami penyair dan orang yang dekat dengannya, yaitu tetangganya di Dzu Salam, Sudah menjadi kelaziman bagi para penyair Arab klasik dalam mengawali karya syairnya selalu merujuk pada tempat di mana ia memperoleh kenangan mendalam dalam hidupnya, khususnya kampung halamannya. Inilah nasib yang diungkapkan Bushiri pada awal bait :

Amin tadzakurin jiranin bi Dzi Salami Mazajta dam ‘an jara min muqlatin bi dami?
maksudnya, Tidakkah kau ingat tetanggamu di Dzu Salam Yang air matanya tercucur bercampur darah?

Kemudian idea-idea al-Bushiri yang penting dilanjutkan dengan untaian-untaian yang menggambarkan visi yang bertalian dengan ajaran-ajaran tentang pengendalian hawa nafsu. Menurut dia, nafsu itu bagaikan anak kecil, apabila diteruskan menetek, maka ia akan tetap saja suka menetek. Namun jika ia disapih, ia pun akan berhenti dan tidak suka menetek lagi. Pandangan al-Bushiri tentang nafsu tersebut terdapat pada bait ke-18, yang isinya antara lain :

Wa an-nafsu kattifli in tuhmiihu syabba ‘ala Hubbi ar-radha’i wa in tufhimhu yanfatimi
Nafsu bagaikan anak kecil, yang bila dibiarkan menetek Ia akan tetap senang menetek. Dan bila disapih ia akan melepaskannya.

Dalam ajaran pengendalian hawa nafsu, al-Bushiri menganjurkan agar kehendak hawa nafsu dibuang jauh-jauh, jangan dimanjakan dan dipertuankan, karena nafsu itu sesat dan menyesatkan. Keadaan lapar dan kenyang, kedua-duanya dapat merusak, maka hendaknya dijaga secara seimbang. Ajakan dan bujukan nafsu dan setan hendaknya dilawan sekuat tenaga, jangan diperturutkan (bait 19-25).

Selanjutnya, ajaran Imam al-Bushiri dalam Burdahnya yang terpenting adalah pujian kepada Nabi Muhammad SAW. la menggambarkan betapa Nabi diutus ke dunia untuk menjadi lampu yang menerangi dua alam : manusia dan Jin, pemimpin dua kaum : Arab dan bukan Arab. Beliau bagaikan permata yang tak ternilai, pribadi yang tertgosok oleh pengalaman kerohanian yang tinggi. Al-Bushiri melukiskan tentang sosok Nabi Muhammad seperti dalam bait 34-59 :


Muhammadun sayyidui kaunain wa tsaqaulai Ni wal fariqain min urbln wa min ajami
Muhammad adalah raja dua alam : manusia dannjin Pemimpin dua kaum : Arab dan bukan Arab.

Pujian al-Bushiri pada Nabi tidak terbatas pada sifat dan kualitas pribadi, tetapi mengungkapkan kelebihan Nabi yang paling utama, yaitu mukjizat paling besar dalam bentuk Al Quran, mukjizat yang abadi. Al Quran adalah kitab yang tidak mengandung keraguan, pun tidak lapuk oleh perubahan zaman, apalagi ditafsirkan dan dipahami secara arif dengan berbekal pengetahuan dan makrifat. Hikmah dan kandungan Al Quran memiliki relevansi yang abadi sepanjang masa dan selalu memiliki konteks yang luas dengan peristiwa-peristiwa sejarah yang bersifat temporal. Kitab Al Quran solamanya hidup dalam ingatan dan jiwa umat Islam.

Selain Qasidah Burdah, al-Bushiri juga menulis beberapa qasidah lain di antaranya al-Qashidah al-Mudhariyah dan al-Qashidah al-Hamziyah. Sisi lain dari profil al-Bushiri ditandai oleh kehidupannya yang sufistik, tercermin dari kezuhudannya, tekun beribadah, tidak menyukai kemewahan dan kemegahan duniawi.

Di kalangan para sufi, ia termasuk dalam deretan sufi-sufi besar. Sayyid Mahmud Faidh al-Manufi menulis di dalam bukunya, Jamharat al-Aulia. bahwa al-Bushiri tetap konsisten dalam hidupnya sebagai seorang sufi sampai akhir hayatnya. Makamnya yang terletak di Iskandaria, Mesir, sampai sekarang masih dijadikan tempat ziarah. Makam itu berdampingan dengan makam gurunya, Abu Abbas al-Mursi.

Oleh: Imam Saiful Mu’minin AR* *Penulis adalah anggota Forum Mubahasah Seni dan Budaya LEMKA,
Jakarta.
Sumber: http://www.amanah.or.id/detail.php?id=666

ADAB-ADAB DENGAN GURU



Janganlah memanggil guru dengan perkatan kamu atau kau, dan janganlah memanggilnya dari jauh. Berkata Imam al-Khatib, “panggillah guru kamu dengan “wahai tuan guru, wahai al-hafiz”, dan panggilan seumpamanya.”

Sentiasalah penuntut ilmu mencari redha tuan gurunya walaupun berbeza pendapat dengan gurunya. Hendaklah menghormati haknya dan tidak melupakan kelebihanya, jangan mengumpat keatas gurunya dan jangan biarkan orang mengumpatnya.

Sentiasalah berdoa untuk guru semasa hidupnya, mengambil berat akan zuriatnya, sanak saudaranya dan orang yang disayanginya selepas kewafatannya. Sentiasa menziarahi kuburnya, dan meminta maaf darinya.

Berkata Imam Abu Yusuf, “aku sentiasa mendoakan kebaikkan tuan guruku Imam Abu Hanifah sebelum mendoakan kedua orang tuaku kerana aku Imam Abu Hanifah pernah berkata “aku sentiasa guruku Hammad bersama kedua ibu bapaku.”

Berkata Imam Ahmad, “aku sentiasa mendoakan Imam syafie dan meminta ampun darinya sebelum aku tidur selama tiga puluh tahun.”

Pernah diceritakan oleh syeikh Burhanuddin pengarang kitab al-Hidayah yang masyur dalam mazhab Hanafi, bahawa ada seorang Ulamak besar negeri Bukhara ketika beliau sedang mengajar, beliau kekadang bangun berdiri sehingga murid-muridnya tertanya-tanya. Ulamak tadi menjawab, sesungguhnya anak guruku sedang bermain-main bersama dengan kawan-kawannya di lorong sana, jika aku terlihat akan dia aku berdiri demi untuk menghormati guruku.

Terdapat ulamak apabila pergi menuntut ilmu kepada gurunya dia terlebih dahulu bersedekah dan berdoa kepada Allah supaya menutup aib gurunya dari pandangannya dan memohon supaya Allah jangan hilangkan keberkatan ilmu gurunya kepadanya.

Berkata Imam al-Rabi’: Demi Allah, aku aku tidak berani meneguk air sedangkan guruku Imam al-Syafie sedang melihat kepadaku, kerana aku merasa gerun dengannya.”

Berkata Imam al-Syafie: apabila aku membuka helaian-helaian kitabku di hadapan imam Malik, aku membukanya dengan perlahan-perlahan kerana aku gerun kepadanya takut-takut dia mendengar bunyi kertas.”

Dari Imam Abu hanifah: Aku tidak pernah mengunjurkan kakiku kea rah rumah guruku Imam hammad kerana rasa hormatku kepadanya, sedangkan jarak rumahku dengan rumahnya dipisah oleh tujuh lorong.”

Rujukan: Makanat al-‘ilm wal ulama’, wa adab tolab al-‘ilm, Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki.

Tuesday, July 26, 2011

PEMBERONTAKKAN DAN BAGAIMANA MENGHADAPINYA DALAM HUKUM ISLAM


Siapakah pemberontak?
Pemberontak ialah siapa sahaja yang melampaui had atau melampai batas undang-undang yang sepatutnya dipatuhi dalam sesebuah Negara. Dalam bahasa arab pemberontak di kenali sebagai bughah iaitu sekumpulan umat Islam yang menentang pemerintah Islam atau melanggar perintahnya atau bertindak menghalang hak-hak Allah atau hak manusia.

Apakah hukumnya?
Apabila wujud pemberontakkan, pemerintah Islam wajib menghantar wakil bagi berurusan dengan pemberontak. Jika tuntutan bughah tadi adalah baik dan tidak memberi kesan yang buruk, tuntutan mereka wajib dipenuhi. Sekiranya tuntutan mereka tidak relevan, boleh memberi kesan buruk, atau tidak ada sebarang motif, maka pemerintah hendaklah memberi nasihat berupa amaran bahawa mereka akan diperangi jika meneruskan

pemberontakkan dan minta mereka supaya kembali taatn. Jika mereka enggan dan masih memberontak, mereka wajib diperangi.

Kumpulan pemberontak tidak dihukum fasik atau kafir kerana mereka mempunyai sebab dan alasan yang dibenarkan syarak.

Syarat-syarat bagi Memerangi bughah.
1. Untuk memerangi bughah, syarat pertama ialah kumpulan pemberontak itu mestilah kekuatan dan keupayaan untuk menentang atau mengancam pemerintah. Kekuatan mereka mungkin dari segi jumlah ahli yang ramai atau senjata.

2. Pemberontakkan yang dilakukan mestilah benar-benar diluar kawalan pemerintah. Jika ia masih boleh dikawal, mereka tidak perlu diperangi, cukup sahaja dengan ditangkap dan dipenjarakan.

3. Kumpulan bughah ini perlulah mempunyai tafsiran yang jelas tentang sebab mereka memberontak dan mereka mempunyai ruang dalam berijtihad. Jika mereka tiada takwilan yang jelas dan ijtihad yang disandarkan, maka mereka tidak dihukum sebagai pemberontak tetapi diperangi sebagai kumpulan yang fasik. Perlu ditekankan disini bahawa, jika tiada ijtihad dan tafsiran yang jelas bagi sebab memberontak, dan mereka menghalalkan memerangi pemerintah Islam, kumpulan pemberontak boleh menjadi kufur.

4. Syarat terakhir ialah kumpulan pemberontak mestilah mempunyai tokoh yang ditaat yang berperanan menguatkan mereka, yang mempengaruhi dan menyatupadukan ahli bagi melakukan pemberontakkan.

Hujah
Firman Allah SWT: "Dan jika dua puak dari orang-orang Yang beriman berperang, maka damaikanlah di antara keduanya; jika salah satunya berlaku zalim terhadap Yang lain, maka lawanlah puak Yang zalim itu sehingga ia kembali mematuhi perintah Allah; jika ia kembali patuh maka damaikanlah di antara keduanya Dengan adil (menurut hukum Allah), serta berlaku adillah kamu (dalam Segala perkara); Sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang Yang berlaku adil". (al-Hujurat: 9)

Menurut Ulamak, ayat ini bersifat umum atau boleh diqiaskan dengan pemberontakkan. Puak yang zalim adalah kumpulan yang melampaui batas dan perlu diperangi oleh pemerintah apabila dituntut oleh syarak.

Dari sebuah hadis diriwayatkan oleh Abu Daud dalam bab memerangi khawarij Nabi s.a.w bersabda:

“Sesiapa yang memisahkan diri dari jamaah walaupun sejengkal, maka dia telah mencabut ikatan Islam daripada lehernya.”

Mengapa Pemberontak Perlu Diperangi?
Ini adalah kerana supaya menjaga kestabilan pemerintahan setelah dilantik secara sah oleh Umat Islam. Kestabilan pemerintahan penting bagi menyatupadukan kekuatan Umat Islam dan bagi menakutkan musuh.

Banyak Ayat al-Quran memerintahkan umat Islam taat setia kepada pemerintah walaupun dia seorang yang zalim. Tetapi ketaatan dikecualikan dari taat pada perkara maksiat. Dan ketaatan kepada pemerintah adalah melebihi dari berpegang pada ijtihad.

Bagaimana memerangi pemberontak?
Memerangi bughah berbeza dengan cara memerangi orang yang fasik, kafir dan musuh Islam. Malah ia tidak ada kaitan dengan Bid’ah. Memerangi bughah hanya satu matlamat iaitu menjaga keamanan dan perpaduan umat Islam.

1. Mestilah pemerintah terlebih dahulu menghantar wakil bagi berbincang seperti mana dilakukan oleh Saidina Ali r.a yang menghantar Abdullah bin Abbas r.a bagi berbincang dengan kumpulan yang menentangnya. Setelah perbincangan gagal, perlulah diberi ancaman akibat dari pemberontakkan dan kemudian memberi amaran akan diserang, kemudian barulah wajib diperangi jika masih gagal.

2. Peperangan hanya pada orang yang membalas serangan, jika ada pemberontak yang lari dari medan perang tidak boleh dikejar dan pemberontak yang cedera tidak boleh dibunuh.

3. Pemberontak yang ditawan tidak boleh dibunuh, larangan keatas pemberontakkan ini dari hadis Nabi s.a.w dari Ibnu Umar,
“jangan kejar mereka yang melarikan diri dan jangan kejar dan bunuh mereka yang cedera.” Al-Baihaqi menambah lagi: “dan jangan dirampas harta mereka”.

Dalam satu peristiwa saidina Ali r.a pernah menyuruh pesuruhnya membuat pengumuman dalam peperangan terhadap pemberontak bahawa jangan mengejar orang yang melarikan diri, jangan diserang orang yang cedera, jangan dibunuh orang yang ditawan dan sesiapa yang menutup pintunya dan meletakkan senjata akan selamat. Sesiapa yang enggan menyerah, enggan memberi baiah dan taat setia akan dipenjara sehinggalah peperangan tamat. Tawanan akan dibebaskan sekiranya dia berjanji tidak akan terlibat lagi dalam peperangan. Jika dikhuatiri dia akan memungkiri janji, dia boleh terus dipenjarakan sehingga diyakini.

4. Walaupun harta milik tidak boleh dirampas atas nama harta rampasan perang, namun harta berupa senjata perlu disimpan sebagai bukan hak milik kerajaan sehingga diyakini mereka tidak kembali melancarkan serangan.

Implikasi peperangan terhadap pemberontak.
Jika semua syarat dipenuhi dan langkah awal telah diambil, maka halal darah pemberontak yang dibunuh kerana tindakan ini dibenarkan oleh syarak. Oleh itu pembunuh tidak dikenakan qisas dan bayar diyat.

Selepas tamatnya peperangan, jika pemberontak dibunuh sedangkan dia telah melakukan baiat, maka pembunuh akan dikenakan hukuman qisas. Jika pembunuh bersumpah dia membunuh dengan menganggap pemberontak masih engkar, maka qisas digugurkan dan dia hanya perlu membayar diyat.

Sumber : Fiqh al-Manhaji, Dr. Mustofa al-Khin, Dr. Mustofa al-Bugho & Ali Asy-Syarbaji, bab Pemberontakkan dan Hukumannya.

Friday, July 22, 2011

ADAB-ADAB BAGI PENUNTUT ILMU BAH 3



9. Bersikap tamak dalam menuntut ilmu dan sentiasa tekun.
Tamakkan mendapatkan ilmu akan menyebabkan seseorang menjadi tekun mengkajinya siang dan malam pada setiap masa. Jangan sampai masa hilang begitu sahaja tanpa mendapatkan ilmu kecuali untuk memenuhi keperluan sahaja. Akal yang cemerlang itu ialah seseorang yang berkemampuan menjadi pewaris Nabi s.a.w tidak melepaskan peluang yang ada.

Penuntut ilmu perlu sentiasa merasa tidak cukup, tidak puas dalam menuntut ilmu sedangkan dia mampu untuk mendapatkannya sebanyak-banyaknya. Jangan sia-siakan waktu yang ada, manfaatkan dengan sebaiknya waktu malam yang sunyi, kerana waktu untuk menuntut ilmu singkat tetap ilmu itu sangat banyak.

Isilah ilmu ketika masih ada masa lapang, ketika masih muda dan cergas, ketika badan masih kuat, ketika lintasan hati masih murni, ketika masih sedikit masa yang menyibukkan, sebelum tiba rintangan umur dan sebelum mendapat kedudukan yang tinggi.
Berkata saidina Umar al-Khattab, “fahamilah ilmu-ilmu agama sebelum kamu menjadi pemimpin.”

Berkata Imam Syafie,”fahamilah ilmu-ilmu agama sebelum kamu menjadi ketua, kerana jika kamu sudah dilantik menjadi ketua, maka terlalu susah untuk kamu menyibukkan diri dalam menuntut ilmu-ilmu agama.”

Maksud dari perkataan ini ialah supaya kita bersungguh-sungguh menuntut ilmu sehingga menjadi pakar dalam sesuatu bidang ilmu sebelum menjadi ketua dalam bidang tersebut.
Berusahalah menghafal walau sedikit, kerana yang banyak itu bermula dari sedikit dan berkumpul menjadi banyak.

10. Memilih Guru
Berkata Imam Abu Hanifah,”aku telah mendapat guru yang sopan dan tetap pendirian, penyantun dan penyabar. Biarlah tuan guru itu seorang yang sempurna keahliannya, mendalam makrifatnya ilmunya, teguh pegangan agamanya, terkenal kewarakkannya serta kebaikkannya.”

Berkata Imam Malik, “sesungguhnya ilmu ini agama, hendaklah kamu perhatikan terlebih dahulu kepada siapa kamu mengmbil ilmu agamamu.”

Berkata syeikh Ibrahim, “penuntut-penuntut ilmu zaman dahulu apabila mereka datang kepada tuan guru untuk belajar, mereka terlebih dahulu memerhatikan perwatakannya, solatnya dan bagaimana keadaannya. Kemudian barulah mereka mengambil ilmu dari tuan guru.”

Berkata Imam al-Tsauri, “sesiapa yang menimba ilmu dari ahli bid’ah, maka Allah tidak akan memberi manfaat dari ilmunya. Sesiapa yang bersalaman dengannya, sesungguhnya dia telah merungkai satu persatu tali islamnya.”

Tuan guru mestilah seorang yang mahir dan menguasai pelbagai cabang ilmu syariat, bukan hanya mengusai dengan banyaknya ilmu dalam satu bidang sahaja.



11. Memilih sahabat.
Bergaullah dengan orang yang boleh memberi faedah kepada kita atau kita dapat mengambil faedah darinya. Jauhkanlah diri dengan orang yang mensia-siakan umurnya, ini kerana sikapnya akan cepat mempengaruhi orang yang berkawan dengannya. Jika sikapnya mempengaruhi kita, sangat sukar untuk meninggalkan sikap yang melekat pada diri kita.

12. Adab Dengan Kitab
Menghormati ilmu itu adalah dengan menghormati kitab, ini kerana alat bagi ilmu adalah kitab. Para ulamak berusaha mendapatkan kitab dan menjaga kitab mereka sebaik-baiknya. Hendaklah penuntut ilmu mengambil kitab dalam keadaan bersuci. Oleh itu ketika syeikh al-Sarkhasyi sakit perut, beliau sanggup mengambil wudhuk sebanyak tujuh belas kali dalam satu malam untuk mengulangkaji ilmu.

Janganlah meletakkan kitab tafsir di bawah kitab-kitab yang lain, dan jangan meletak objek lain atas kitab seperti pen, cermin mata dan sebagainya. Berusahalah mendapatkan kitab dengan membeli, meminjam atau menyewa.

Beradab ketika menyusun kitab, susunlah mengikut taraf kemuliaannya dan keangungan pengarangnya.

Akhir sekali, banyakkanlah bersolawat ke atas Rasulullah s.a.w, bertasbihlah kepada Allah, sentiasa beramal dengan wirid pagi dan petang, lakukanlah solat dengan kusyuk kerana semua ini akan memudahkan mendapatkan ilmu dan akan melahirkan rasa rajin untuk belajar. Bersyukurlah kepada Allah dengan lidah, hati, anggota badan ataupun dengan membelanjakan harta di jalan Allah.

Rujukan: Makanat al-‘ilm wal ulama’, wa adab tolab al-‘ilm, Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki.

Thursday, July 21, 2011

ADAB-ADAB BAGI PENUNTUT ILMU BAH 2


5. Membersihkan Hati.
Bersihkan hati supaya mudah faham, mudah dihafal seperti pokok yang sihat dan diambil buahnya yang segar.

Berkata Imam al-Ghazali: “Hati itu umpama rumah yang menjadi tempat persinggahan para malaikat, tempat turunnya perkara-perkara baik yang dibawa oleh mereka dan menjadi tempat kediaman mereka. Sedangkan sifat-sifat mazmumah adalah anjing-anjing yang suka menyalak, mana mungkin hati dimasuki malaikat andai hatinya dipenuhi anjing.”

Berkata Imam Ibnu Jamaah: “solat merupakan ibadah zahir, ia sah dengan kesucian yang zahir yakni dari hadas. Demikian juga halnya dengan ilmu, ia merupakan ibadah hati, ia akan sah dengan kesucian hati dari sifat mazmumah.”

Berkata Imam Malik kepada Imam syafie: “aku melihat Allah mencampakkan cahaya ke dalam hatimu, oleh itu janganlah kamu memadamkannya dengan maksiat.”

Berkata Ibnu Mas’ud: “Ilmu itu bukanlah dinilai dari banyaknya riwayatnya, tapi dengan cahaya yang dicampakkan ke dalam hati.

6. Beradab di Dalam Majlis Ilmu.
Berkata Imam al-Khatib: “Hendaklah penuntut ilmu menjauhi dari bermain-main, melakukan sesuatu yang sia-sia, kerap ketawa terbahak-bahak, melakukan sesuatu yang ganjil dan banyak bergurau. Ketawa yang sedikit dibenarkan selagi masih menjaga adab dan tidak melampaui batas.”

Berkata Imam Malik: “satu kemestian bagi penuntut ilmu bersikap sopan dan tetap pendirian, sentiasa tenang dan takut kepada Allah, dan sentiasalah mengikuti jejak langkah para Ulama sebelumnya.”

Berkata Imam Nawawi dalam al-Tibyan: “Seharusnya penuntut ilmu beradab ketika bersama kawan-kawan dan orang lain ketika dalam majlis ilmu syeikhnya. Ini juga bermakna beradab dengan syeikhnya dan memelihara majlisnya. Jangan mengangkat suara, tidak bermain-main dengan sesuatu, tidak sering menoleh ke kiri dank ke kanan serta menumpukan pendengaran.”


7. Menjauhi Perkara-perkara yang Menyibukkan.
Berusahalah hindarkan diri perkara-perkara yang menyibukkan ketika menuntut ilmu. Janganlah sibuk mencari keperluan, tetaplah berasa cukup dengan keperluan yang sedia ada, bersabrlah dengan kesempitan hidup, manfaatkanlah usia muda dengan mendapatkan ilmu sebanyaknya, jangan dilalaikan dengan angan-angan kerana masa yang berlalu tiada gantinya. Sentiasa tetaplah hatinya dengan ilmu sebagai mana firman Allah s.w.t:


“Allah tidak sekali-kali menjadikan seseorang mempunyai dua hati dalam rongga dadanya” al-Ahzab: 4

Imam al-Khatib al-Baghdadi berkata dalam kitabnya al-Jamik: “Ilmu ini tidak diperolehi kecuali dengan menjauhi urusan kedainya, membiarkan kebunnya, meninggalkan sahabat handainya, dan tidak juga disibukkan dengan keluargannya.”

Kalam ulama ini bermaksud supaya penuntut ilmu menumpukan hati dan fikiran ketika menuntut ilmu.

Berkata Imam Abu Yusuf: “Ilmu itu tidak diberikan kepadamu kecuali kamu sanggup memberi kepadanya seluruh jiwa raga kamu.”

8. Tabah Menghadapi Kepayahan dan Kesusahan.
Menjadi kelaziman para penuntut ilmu mengalami kepayahan dan kesusahan sepertimana yang dialami oleh Nabi Musa alaihissalam ketika dalam perjalanan baginda menuntut ilmu, beliau berkata: "Bawalah makan tengah hari kita sebenarnya kita telah mengalami penat lelah Dalam perjalanan kita ini", surah al-Kahfi: 62.

Perjalanan menuntut ilmu tidak sunyi dari kepayahan, orang yang sabar menghadapi segala rintangan akan merasai kelazatan dalam menuntut ilmu yang mengatasi kelazatan-kelazatan dunia.

Berkata Muhammad bin al-Hasan apabila beliau Berjaya menyelesaikan kemusykilan agama: “Mana mungkin anak-anak raja akan merasai kelazatan ini.” Beliau berkata lagi,

“sesiapa yang ingin meninggalkan ilmu ini sesaat maka biar tinggalkan sekarang juga, kerana kerja kami ini bermula daripada buaian sampai ke liang lahad.”

Ulamak zaman dahulu sangat mementingkan ilmu sehingga ada yang lewat berkahwin da nada yang tidak sempat berkahwin.

Rujukan: Makanat al-‘ilm wal ulama’, wa adab tolab al-‘ilm, Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki.

Wednesday, July 20, 2011

ADAB-ADAB BAGI PENUNTUT ILMU BAH 1


1. Mempunyai Niat yang Ikhlas Kerana Allah s.w.t
Pertama sekali penuntut mestilah berniat mencari keredhaan Allah ta’ala, kejayaan hari akhirat, menghilangkan kejahilan dari dirinya, menghidupkan agama dan untuk mengenali tuntutan-tuntutan syariat.

Firman Allah s.w.t
Pada hal mereka tidak diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah Dengan mengikhlaskan Ibadat kepadaNya, lagi tetap teguh di atas tauhid; dan supaya mereka mendirikan sembahyang serta memberi zakat. dan Yang demikian itulah ugama Yang benar.” – al-Baiyinah: 5

Nabi s.a.w bersabda:
“sesungguhnya nilai semua kerja bergantung dengan pada niatnya dan sesungguhnya balasan bagi setiap apa yang dilakukan adalah menurut apa yang diiatkan.”
(Muttafuq ‘alaih)

Ikhlas bermaksud melakukan sesuatu dengan niat taqarrub kepada Allah ta’ala, dan bukan untuk tujuan lain. Segala gerak-geri, bangun duduk, setiap perkataan dan diamnya adalah hanya kepada Allah semata-mata tanpa dicampuri oleh hawa nafsu dunia.


2. Sentiasa Membersihkan Dirinya dari Segi Zahir dan Batin Daripada Perkara-perkara yang Bertentangan dengan Syariat.
Penuntut ilmu mestilah mempunyai akhlak yang baik, menghiasi dirinya dengan perkara-perkara terpuji dan sentiasa beramal dengan sunnah-sunnah nabi s.a.w dalam setiap keadaan. Bersikap zuhud, tidak tewas dengan tarikan dunia, pemurah, wara’ dan khusyuk, tenang, sopan dan tetap pendirian, sentiasa kemas dan bersih dan berwangian.

Dari al-Rabi’, beliau pernah bercerita tentang Imam al-Syafie, “kalaulah kamu melihat Imam al-Syafie dengan bajunya yang bersih, kemas serta dengan kefasihan tutur katanya nescaya kamu pasti mengaguminya.”

Jangan mengambil ringan akan hal ini, pengabaian akan hal ini akan menghalang dari mendapat keberkatan perkara-perkara sunnah, pengabaian perkara sunnah akan terhalang dari mengamalkan perkara-perkara fardhu.

3. Bersikap Rendah Diri Terhadap Guru.
Hendaklah merendah diri dan beradab dengan guru yang pernah mengajarnya walaupun guru itu lebih muda, tidak terkenal dan serba kekurangan. Ilmu itu mudah diperolehi dengan sikap merendah diri.

Berkata seorang ulamak;
“ilmu itu akan memerangi penuntutnya yang bersikap tinggi diri sepertimana air bah yang dapat memerangi tempat yang tinggi.”


Berkata imam al-Syafie: “patutkan diriku bersikap tidak sepatutnya dengan ulamak sedangkan mereka memuliakan diriku. Ingatlah, sekali-kali tidak akan dimuliakan diri yang sombong.”

Berkata Imam syafie, “jangan kamu harap ilmu itu akan diperolehi dengan watak raja dan jiwa bangga, orang yang Berjaya ialah orang yang menuntut ilmu dengan kerendahan hati dan sabar menghadapi kesempitan hidup serta sudi berkhidmat kepada Ulama.”

4. Pandangan Penuh Penghormatan Terhadap Guru dan Memuliakan Mereka.
Cara memuliakan ilmu adalah dengan memuliakan gurunya. Oleh itu, penuntut ilmu hendaklah melihat guru dengan pandangan penuh penghormatan, meyakini kebolehannya, menjaga haknya dan menghormatinya. Ini membolehkan penuntut ilmu mendapatkan manfaat yang banyak darinya dan memahami apa yang disampaikan.

Terdapat ulamak apabila pergi menuntut ilmu kepada gurunya dia terlebih dahulu bersedekah dan berdoa kepada Allah supaya menutup aib gurunya dari pandangannya dan memohon supaya Allah jangan hilangkan keberkatan ilmu gurunya kepadanya.

Berkata Imam al-Rabi’: Demi Allah, aku aku tidak berani meneguk air sedangkan guruku Imam al-Syafie sedang melihat kepadaku, kerana aku merasa gerun dengannya.”
Berkata Imam al-Syafie: apabila aku membuka helaian-helaian kitabku di hadapan imam Malik, aku membukanya dengan perlahan-perlahan kerana aku gerun kepadanya takut-takut dia mendengar bunyi kertas.”

Dari Imam Abu hanifah: Aku tidak pernah mengunjurkan kakiku kea rah rumah guruku Imam hammad kerana rasa hormatku kepadanya, sedangkan jarak rumahku dengan rumahnya dipisah oleh tujuh lorong.”

Rujukan: Makanat al-‘ilm wal ulama’, wa adab tolab al-‘ilm, Syeikh Muhammad Nuruddin Marbu al-Banjari al-Makki.

Wednesday, July 6, 2011

ILMU - KEMUSNAHAN ATAU KEMAKMURAN?


Tiadalah cabaran tanpa ujian, tiadalah dunia tanpa fitnah. Perhatikanlah di sekeliling kita, yang mengelilingi kita, dan yang melingkungi kita setiap hari, setiap saat, setiap waktu adalah terdiri daripada ujian dalam pelbagai bentuk dan rupa. Anak dan isteri, rakan sekerja, sahabat handai, masyarakat sekeliling, nikmat kurniaan, kelebihan, bakat, keajaiban, teknologi dan segala harta benda merupakan ujian bagi kita.

Allah memberikan ujian kepada seseorang hamba-Nya adalah bergantung kepada peranan yang dimainkan oleh setiap hamba-Nya. Ini kerana, ujian Allah itu bersesuaian dengan kesanggupan dan kemampuan seseorang menanggungnya. Sesungguhnya Allah Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Oleh itu, makin besar peranan kita, semakin besar juga ujian yang bakal kita hadapi.

Sebagai contoh, jika seseorang itu merupakan ahli ilmu yang mendapat pelbagai gelaran yang hebat seperti Prof, Dr, Dato’, Tuan Guru dan apa sahaja bentuk panggilannya, maka besar dan hebat juga ujian yang bakal dihadapinya. Setiap apa yang dimiliki, yang dianugerahkan seperti bakat, kebolehan dan sebagainya akan disertakan bersamanya dengan ujian dan cabaran yang sebanding dengannya.

Seseorang ahli ilmu agama sebagai contoh, apabila di dipilih oleh Allah menjadi ahli ilmu, dikurniakan kepadanya kefahaman, kekuatan ingatan dan ilmu yang mantap, maka makin bertambah ilmunya makin beratlah beban tanggungjawab baginya dalam menjaga amanah dalam menyampaikan dan menjaga kesucian ilmunya. Bagi menyaimbangkan antara ilmu dan ujiannya, dia memerlukan kekuatan rohani dalam menghadapi pelbagai ujian dan membolehkan dia berani berkata benar pada pemimpin yang zalim, membenarkan hukum walau nyawanya berisiko, dan perlu menahan dirinya dari mendapat habuan dunia dan sebagainya.

Dengan ilmu yang dimiliki, dia mampu memanipulasi hukum untuk kepentingan dirinya, dosa yang dilakukan oleh orang yang berilmu lebih besar dari dosa yang dilakukan oleh orang yang jahil, sesuai dengan akibat dan kesan dari tindakan yang dilakukan. In kerana, orang yang berilmu mempunyai ilmu dan fikiran dalam melakukan kerosakkan yang besar, tapi orang yang jahil tidaklah mempunyai ilmu dan keupayaan untuk melakukan kerosakkan yang lebih besar, orang yang berilmu mungkin melakukan kesalahan dan dosa dalam keadaan dia tahu akan kesalahannya, namun orang yang jahil mungkin melakukan kesalahannya dalam keadaan dia tidak menyedarinya.

“Barangsiapa yang menyeru atau mengajak ke arah sesuatu yang sesat (dosa), dia akan menanggung dosanya sebagaimana dosa-dosa orang yang mengikuti ajakan dan seruannya sehinggalah hari kiamat, tidak terkurang dosa itu walau sedikit”.
(Riwayat Muslim & Ibn Majah)

Contoh lain ialah seseorang yang mempunyai kebolehan dan kepakaran dalam penggunaan teknologi computer. Dia mampu mengubah paras rupa orang lain, mengubahsuai gambar menggunakan software tertentu dengan tujuan khianat. Dia boleh mendapatkan bahan lucah dengan mudah melalui internet dan sebarkannya pula kepada orang lain. Antara kes yang telah berlaku ialah ada kes seorang akauntan memindahkan wang dari akaun pelanggan ke dalam akaunnya sehingga dia dapat mencuri dan mengaut keuntungan berjuta-juta ringgit.

Begitu juga bagi orang yang dipilih oleh Allah menjadi pemimpin yang mentadbir Negara, mempunyai kuasa teratas dalam pentadbiran dan memegang jawatan sebagai perdana menteri. Kuasa yang ada padanya membuatkan dia mampu melakukan apa sahaja yang mampu dia lakukan. Ramai pemimpin pada hari ini dengan kuasanya menjatuhkan musuhnya dengan fitnah, menggunakan media menyebarkan fitnah, mengumpulkan harta dengan cara yang salah, menzalimi rakyat dan pelbagai lagi.

Sesungguhnya tiadalah yang mampu mengatasi semua ini dari berlaku kecuali kita sentiasa menyuburkan hati dan rohani kita dengan iman. Berusahalah menyemai iman supaya ia mampu menjadi benteng yang teguh apabila menghadapi ujian. Bagi membina iman yang kukuh, ia perlu bermula dengan nekad di dalam hati dengan membuang rasa malu dan menghadiri ke majlis zikir/ilmu dan sentiasa mendampingi orang-orang yang soleh.

Sentiasa melazimi diri dengan perkara-perkara sunat dengan pakaian seperti kopiah/serban dan jubah, perkara sunat dengan perbuatan seperti memberi salam, membaca bismillah pada setiap perbuatan, perkara sunat dengan sikap iaitu menjaga kebersihan, pergaulan yang baik, bercakap perkara yang baik dan berlemah lembut, perkara sunat berbentuk ibadat seperti berpuasa sunat, mengerjakan solat sunat ba’diah dan qobliah, solat sunat dhuha dan lain-lain solat sunat, perkara sunat dengan ucapan seperti beristighfar, berzikir dan bersolawat. Namun, dalam berusaha melakukan perkara-perkara sunat tidak pula sehingga kita mengabaikan perkara yang fardhu.

Membiasakan diri dengan amalan sunat akan menyebabkan kita terasa ringan dalam melakukan perkara yang wajib. Ini kerana ia merupakan sebagai latihan kecerdasan rohani yang membolehkan otot-otot kita memecut melakukan perkara wajib. Seperti orang yang melakukan warm-up sebelum melakukan larian pecut 100 meter.

Setelah kita nekad, kita perlu komited dalam melakukannya, setiap apa yang kita lakukan perlukan istiqomah iaitu melakukannya secara berterusan dengan tekun dan sabar. Jika tiada istiqomah, perubahan yang kita lakukan mungkin menjadi hangat-hangat tahi ayam dimana kita hanya bersemangat melakukannya seberapa ketika sahaja dan kita akan meninggalkannya. Setiap apa yang kita lakukan biarlah sedikit namun istiqomah dalam melakukannya. Istiqomah akan menjadikankan apa sahaja tindakan yang kita lakukan menjadi satu amalan yang dilazimi, menjadi kebiasaan dan menjadi darah daging dalam jasad kita sehingga susah untuk kita tinggalkannya.

Sumber ; Surur Muhkamat